Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 06 Desember 2011

hukum adat tentang perkawinan

PERKAWINAN ADAT DI INDONESIA
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Hukum Adat”
Dosen Pengampu : Zusiana Elly Triantinii. SHI,.MSi








Disusun Oleh Kelompok IV
Saiful Anwar 09370040
Slamet Riyadi 09370029
Jurianto 09370032
Mufidatul Mujibah 09370043



JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Pengertian Perkawinan 2
B. Bentuk-bentuk Perkawinan 3
C. Asas-asas Perkawinan 8
D. Sistem Perkawinan Adat 9
E. Larangan Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat 14
F. Akibat Putusnya Perkawinan 15
G. Perkawinan Anak-anak 18
BAB III PENUTUP 20
A. Kesimpulan 20
B. Kritik dan Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menikah merupakan salah satu fase kehidupan yang lazim dan layak dilakukan oleh setiap manusia yang siap secara lahir dan batun, serta memiliki rasa tanggungjawab dalam membangun suatu rumah tangga.
Menikah adalah suatu aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Setelah diadakan pernikahan maka menjadi halal antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.Menikah bukan suatu penghalang dalam kehidupan manusia, tapi justru berfungsi membangun kehormatan pergaulan dalam rumah tangga yang dibina oleh suami dan istri.
Banyak corak dan cara pernikahan yang terjadi di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari masyarakat adat yang ada di Indonesia yang jumlahnya tidak hanya 1,2 dan 3, tapi banyak adat dalam melakukan pernikahan di Indonesia.Meskipun zaman sudah serba modern tapi cara perkawinan dan corak perkawinan adat tidak dilupakan begitu saja. Hal ini dikarenakan sudah terjadi secara turun-temurun dari nenek moyang sampai sekarang ini. Maka dari itu penulis mengambil judul “Perkawinan Adat di Indonesia”

B. Rumusan Masalah
Adapun rumuasan maslah berdasarkan latar belakang di atas adalah sebagai berikut:
a. Apa pengertian perkawinan menurut hukum adat?
b. Bagaimana sistem perkawinan adat yang ada di Indonesia?
c. Apa saja asas-asas perkawinan dalam masyarakat adat Indonesia?
d. Bagaimana hukumnya perkawinan anak-anak di Indonesia?
e. Apa yang menyebabkan terjadinya suatu perceraian dan bagaimana tata perceraian masyarakat di Indonesia jika di komparasikan dengan hukum perdata Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan secara ta’rif adalah aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.1
Perkawinan menurut hukum islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkankebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta rasa kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah.2
Menurut Undang-undang perkawinan (undang-undang no. 1 tahun 1974) pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Arti Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat
Arti perkawinan bagi hukum adat adalah penting karena tidak saja menyangkut hubungan antara kedua mempelai, akan tetapi juga menyangkut hubungan antara kedua belah pihak mempelai seperti saudara-saudara atau keluarga kedua mempelai.
Menurut M.M. Djojodigoeno hubungan suami istri setelah perkawinan bukan saja merupakan suatu hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak akan tetapi juga merupakan suatu paguyuban.3
Hukum Adat Perkawinan
Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia.4 Aturan-aturan hukum adat perkawinan di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda. Hal ini dikarenakan sifat kemasyarakatan, adat-istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat yang berbeda-beda. Di samping itu juga dikarenakan kemajuan zaman, selain adat perkawinan itu juga sudah mengalami pergeser dan jyga telah terjadi perkawinan campuran antar suku, adat istiadat. Misalnya perkawinan antara Edhie Baskoro Yudhoyono dengan Aliya yang merupakan perkawinan campuran antara adat Palembang dengan adat Jawa.Walaupun sudah berlaku undang-undang perkawinan yang bersifat nasional yang berlaku di seluruh Indonesia, namun di berbagai daerah dan berbagai golongan masih berlaku hukum perkawinan adat. Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang terdiri dari XIV bab dan 67 pasal mengatur tentang dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami dan istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan, kedudukan anak, perwalian dan ketentuan yang lainnya. Namun di dalam undang-undang tersebut tidak diatur bentuk-bentuk perkawinan, cara peminangan, upacara-upacara perkawinan yang semuanya ini masih berada dalam lingkup hukum adat. Hal-hal yang tidak terdapat dalam undang-undang perkawinan yang berkaitan dengan perkawinan ini masih tetap dan boleh diberlakukan di Indonesia asal tidak menyimpang dari makna perkawinan itu sendiri.

B. Bentuk-bentuk Perkawinan
Dalam hal ini susunan masyarakat di Indonesia terdapat banyak perbedaan, ada yang bersifat patrilinial, matrilinial, parental dan campuran. Dari sini juga terdapat bentuk-bentuk perkawinan yang berbeda pula. Adapun bentuk-bentuk perkawinan yang ada dalam masyarakat adat di Indonesia ini antara lain:5
a. Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur adalah perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang (barang). Pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat yang mempertahankan keturunan garis bapak. Yakni perkawinan yang terdapat dalam masyarakat adat Gayo (unjuk), Batak(boli, tuhor, parunjuk, pangoli), Nias(beuli niha), Lampung(segreh,seroh,daw adat), Bali, Timor(belis,welie), Maluku(beli,wilin). Bentuk perkawinan ini dilakukan oleh pihak kerabat (marga,suku) calon suami kepada pihak kerabat calon istri sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum suaminya. Setelah perkawinan, maka istri berada di bawah kekuasaan kerabat suami, hidup matinya menjadi tanggungjawab kerabat suami, berkedudukan hukum dan menetap diam di pihak kerabat suaminya.begitu pula anak-anaknya dan keturunannya melanjutkan keturunan suami dan harta kekayaan yang di bawa si istri semuanya dikuasai oleh suami, kecuali ditentukan oleh pihak istri.
Pada umumnya dalam bentuk perkawinan jujur berlaku adat pantang cerai. Jadi senang atau susah selama hidupnya istri di bawah kekuasaan kerabat suami. Jika suami wafat maka istri harus melakukan perkawinan dengan saudara suami. Jika istri wafat maka suami harus kawin lagi dengan saudara istri. Jika perkawinan antara suami dengan saudara istri dan istri dengan saudara suami tidak disetujui, maka perkawinan dapat dilakukan dengan orang lain di luar kerabat, namun orang yang di luar kerabat itu harus tetap menggantikan suami atau istri yang wafat itu dalam kedudukan hukum adatnya.
Menurut hukum Islam pembayaran jujur tidak sama dengan mas kawin. Uang jujur adalah kewajiban adat ketika dilakukan pelamaran yang harus dipenuhi oleh kerabat pria kepada kerabat wanita untuk dibagikan pada tua-tua kerabat (marga/suku) pihak wanita, sedangkan mas kawin adalah kewajiban agama ketika dilaksanakan akad nikah yang harus dipenuhi oleh mempelai pria untuk mempelai wanita yang sifatnya pribadi. Uang jujur tidak boleh dihutangkan sedangkan mas kawin boleh dihutangkan.
b. Perkawinan Semenda
Perkawinan semenda pada hukumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat matrilinial, dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Perkawinan ini merupakan kebalikan dari perkawinan jujur. Dalam perkawinan semenda, calon mempelai pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, malahan sebagaimana berlaku di minangkabau berlaku adat pelamaran dari pihak wanita kepada pihak pria.
Setelah perkawinan terjadi, maka suami berada di bawah kekuasaan istri dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semenda yang berlaku. Adapun bentuk perkawinan semenda yakni:6
a) Semanda raja-raja
Suami dan istri berkedudukan sama
b) Semanda lepas
Suami mengikuti tempat kediaman istri (matrilokal)
c) Semanda bebas
Suami tetap pada kerabat orang tuanya
d) Semanda nunggu
Suami dan istri berkediaman di pihak kerabat istri selama menunggu adik ipar (istri) sampai dapat mandiri
e) Semanda ngangkit
Suami mengambil istri untuk dijadikan penerus keturunan pihak ibu suami dikarenakan ibu tidak mempunyai keturunan anak wanita
f) Semanda anak daging
Suami tidak menetap di tempat si istri melainkan datang sewaktu-waktu, kemudian pergi lagi seperti burung yang hinggap sementara, maka disebut juga semanda burung.
Di daerah Bengkulu, perkawinan semanda dibedakan semanda beradat dan semanda tidak beradat. Semanda beradat ialah bentuk perkawinan semanda di mana pihak pria membayar uang adat kepada kerabat wanita. Sedangkan semanda tidak beradat ialah pihak pria tidak membayar uang adat, karena semua biaya perkawinan ditanggung pihak wanita. Di daerah Lampung beradat pesisir terdapat istilah semanda mati tunggu mati manuk, di mana suami mengabdi di tempat istri.
Bentuk perkawinan semanda ini tidak berlaku lagi di Indonesia sejak berlakunya UU No. 1 tahun 1974. Yang masih berlaku adalah bentuk perkawinan semanda raja-raja, semanda nunggu, semanda bebas, semanda ngangkit karena tidak ada penerus keturunan wanita atau dalam masyarakat patrilinial semanda ngiken untuk meneruskan keturunan laki-laki bagi keluarga yang tidak mempunyai anak lelaki sebagai penerus keturunan. Pada umumnya dalam bentuk perkawinan semanda kekuasaan pihak istri yang lebih berperanan, sedangkan suami tidak ubahnya sebagai istilah nginjam jago (meminjam jantan) hanya sebagai pemberi bibit saja dan kurang tanggung jawab dalam keluarga.
c. Perkawinan Bebas (mandiri)
Bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental (keorangtuaan) seperti berlaku di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan, Sulawesi. Bentuk perkawinan ini sesuai dengan UU No. 1 tahun 1974, di mana kedudukan dan hak suami dan istri berimbang, suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Setelah perkawinan suami dan istri pisah dari orang tua dan keluarga masing-masing. Orang tua kedua pihak hanya memberi bekal (sangu) bagi kelanjutan hidup rumah tangga kedua mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebaga harta bawaan ke dalam perkawinan. Sebelum perkawinan orang tua hanya memberi nasihat, petunjuk memilih jodoh dan setelah perkawinan hanya mengawasi kehidupan rumah tangga anaknya yang sudah menikah. Di dalam masyarkat parental bisa saja terjadi perkawinan ganti suami apabila suami wafat, di mana istri kawin lagi dengan saudara suami atau terjadi perkawinan ganti istri apabila istri wafat, di mana suami kawin lagi dengan saudara istri. Tapi hal ini bukan merupakan suatu keharusan sebagaimana dalam masyarakat patrilinial ataupun masyarakat matrilinial.
d. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi antara suami dan istri yang berbeda bangsa, adat, budaya. Undang-undang perkawinan nasional tidak mengatur hal demikian, yang diatur hanya perkawinan antara suami dan istri yang berbeda kewarganegaraan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 57 UU No. 1 tahun 1974. Terjadinya perkawinan menimbulkan maslah hukum antara tata hukum adat dan hukum agama, yaitu hukum mana dan apa yang diperlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Pada dasarnya hukum adat atau hukum agama tidak membenarkan terjadinya perkawinan campuran. Tapi dalam perkembangannya hukum adat setempat memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalahnya, sehingga perkawinan campuran itu dapat dilaksanakan.
Menurut hukum adat Batak apabila akan diselenggarakan perkawinan campuran antar suku, adat dan agama yang berbeda, maka dilaksanakan dengan ‘marsileban’, yaitu pria atau wanita yang bukan warga adat Batak harus diangkat dan dimasukkan lebih dulu sebagai warga adat batak dalam ruang lingkup ‘dalihan na tolu’. Jika calon suami orang luar adata Batak maka masuk ke dalam warga adat ‘hula-hula’, dan apabila calon istri yang dari luar adat Batak, maka harus diangkat ke dalam warga adat ‘namboru’. Sehingga perkawinan adat tetap di dalam jalur ‘assymmetrisch connubium’
Dalam hal perbedaan agama antara calon suami dan istri, agar perkawinannya itu sh maka salah satu dari keduanya harus mengalah salah satu yakni dengan cara masuk kedalam salah satu agama si calon suami atau si calon istri. Menurut agama Islam perkawinan campuran antar agama di mana calon suami istri tidak bersedia meninggalkan agama yang dianutnya, maka Islam hanya membolehkan pria Islam kawin dengan wanita beragama lain. Di dalam agama Kristen Katolik boleh terjadi perkawinan di mana suami dan istri tetap mempertahankan agama yang dianutnya, hanya saja dengan perjanjian suami atau istri yang beragama Katolik harus berjanji akan mendidik anak-anaknya ke dalam Katolik.7
e. Perkawinan Lari
Perkawinan lari terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat yang terjadi dalam masyarakat adat Batak (mangaluwa), Lampung (sebambungan, metudau, nakat, cakak lakei), Bali (ngerorod, merangkat), Bugis (silariang), Maluku. Sebenarnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran. Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara perkawinan lari bersama dan perkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersama adalah perbuatan berlarian untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis. Cara melakukan berlarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan kawin lari pada waktu yang sudah ditentukan melakukan lari bersama atau si gadis secara diam-diam diambil kerabat pihak bujang dari tempat kediamannya, atau si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang. Segala sesuatunya berjalan menurut tata tertib adat berlarian.
Perkawinan lari paksaan (Belanda: schaak-huwelijk, lampung:dibembangkan, ditekep, ditenggang, Bali:melegandong) adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu, atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak atas persetujuan si gadis dan tidak menurut tata tertib adat berlarian.
Perkawinan lari bersama biasanya dilakukan dengan mengikuti tata tertib adat berlarian setempat. Di kalangan masyarakat Lampungberadat pepadun setidaknya-tidaknya gadis yang pergi berlarian harus meninggalkan tanda kepergiannya berupa surat atau sejumlah uang, pergi menuju ke tempat kediaman kepala adat bujang, kemudian pihak bujang mengadakan pertemuan kerabat dan mengirim utusan untuk menyampaikan permintaan maaf dan memohon penyelesaian yang baik dari pihak kerabat wanita, lalu diadakan perundingan kedua pihak.
Di lingkungan Dayak Ngaju Kalimantan berlaku adat si gadis mendatangi rumah bujang untuk memaksakan perkawinan atau sebaliknya si bujang mendatangi rumah gadis dengan membawa barang-barang pemberian meminta diakwinkan, jika pihak gadis menolak atau pihak gadis harus mengganti senilai barang pemberiannya dan dapat pula terjadi si bujang ketika berada di rumah gadis dikurung sampai pagi lalu gadis memaksa untuk dikawinkan dengan pemuda itu.

C. Asas-asas Perkawinan
Asas- asas yang terkandung dalam UU perkawinan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945, maka UU ini harus dapat mewujudkan prinsip- prinsip yang terkandung dalam Pancasiladan UUD 1945, dan harus dapat menampung segala yang hidup dalam masyarakat. Asas- asas ini tercantum dalam pada penjelasan umum tiga UU perkawinan.
Asas- asas yang tercantum adalah :
1. Bahwa perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, keduanya dapat mengembangkan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan yang bersifat material dan spiritual.
2. Perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaannya, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundangan yang berlaku.
3. Perkawinan harus memenuhi administrasi dengan jalan mencatatkan diri pada kantor pencatatan yang telah ditentukan oleh perundang- undangan.
4. Perkawinan menurut asas monogami, meskipun tidak bersifat mutlak karena masih ada kemungkinan untuk beristri lebih dari seorang, bila dikehendaki olehpihak- pihak yang bersangkutan dan ajaran agamanya mengijinkan untuk itu ketentuan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang- undang.
5. Perkawinan dilakukan oleh pihak yang telah matang jiwa raganya atau telah dewasa, kematangan ini sesuai dengan tuntutan jaman di manabaru dilancarkan keluarga berencana dalam rangka pembangunan nasional.
6. Memperkecil dan mempersulit perceraian.
7. Kedudukan suami istri dalam kehidupan perkawinan adalah seimbang baik kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan masyarakat.
D. Sistem Perkawinan Adat
Dalam suatu masyarakat adat ada suatu sistem perkawinan, di mana masing-masing sistem mempunyai pengaruh tersendiri terhadap status anak, waris, kedudukan anak di dalam suatu masyarakat adat, adapun sistem perkawinan tersebut adalah:
Sistem perkawinan adat antara lain sebagai berikut:8
a. Sistem Endogami
Sistem endogami adalah suatu perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang menikah, harus berasal dari keluarganya sendiri atau marganya sendiri.
b. Sistem Exogami
Sistem exogami adalah suatu sistem perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang menikah dengan orang lain yang berasal dari suku atau marga lain.
c. Sistem Eleuxthrogami
Sistem eleuxthrogami adalah suatu sistem perkawinan yang menganut sistem endogami dan exogami. sistem ini tidak mengenal larangan-larangan maupun keharusan-keharusan. Adapun larangan-larang dalam sistem ini adalah larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan. Larangan-larangan tersebut adalah yang berkaitan dengan nasab di mana dilarang menikah dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, saudara kandung, saudara bapak atau ibu. Di samping larangan nasab ada juga larangan musyarahah (periparan) yakni dilarang menikahi ibu tiri, menantu, mertua dan anak tiri.
Sistem Perkawinan Adat di Lampung9
Menurut ketentuan-ketentuan adat system perkawian masyarakat Lampung Saibatin yang menganut garis keturunan Bapak (Patrachaat) menganut 2 sistem pokok yaitu :

1. Sistem Perkawian Nyakak Atau Matudau
Sistem ini disebut juga sistem perkawina Jujur karena lelaki mengeluarkan uang untuk membayar jujur/Jojokh (Bandi Lunik) kepada pihak keluarga gadis (calon istri).
Sistem nyakak atau mantudau dapat dialksanakan dua cara:
Cara Sabambangan
Cara ini si gadis dilarikan oleh bujang dari rumahnya dibawa rumah adat atau rumah si bujang. Biasanya pertama kali sampai si gadis ditempat si bujang dinaikan kerumah kepala adat atau jukhagan baru di bawa pulang kerumahnya oleh keluarga si bujang. Ciri bahwa si gadis nyakak/mentudau si gadis meletakkan surat yang isinya memberitahu orang tuanya kepergiannya Nyakak atau mentudau dengan seorang bujang (dituliskan Namanya), keluarganya, kepenyimbangannya serta untuk menjadi istri keberapa, selain itu meninggalakan uang pengepik atau pengluah yang tidak ditentukan besarnya, hanya kadang-kadang besarnya uang pengepik dijadikan ukuran untuk menentukan ukuran uang jujur (bandi lunik). Surat dan uang diletakkan ditempat tersembunyi oleh si gadis. Setelah gadis sampai di tempat keluarga si bujang, kepala adat pihak si bujang memerintahkan orang-orang adat yang sudah menjadi tugasnya untuk memberi kabar secara resmi kepada pihak keluarga si gadis bahwa anak gadisnya yang hilang telah berada di kelaurga mereka dengan tujuan untuk dipersunting oleh salah satu bujang anggota mereka. Mereka yang memberitahu ini membawa tanda-tanda mengaku salah bersalah ada yang menyerahkan Kris, Badik dan ada juga dengan tanda Mengajak pesahabatan (Ngangasan, Rokok, Gula, Kelapa,dsb) acara ini disebut Ngebeni Pandai atau Ngebekhi tahu. Sesudah itu berarti terbuka luang untuk mengadakan perundingan secara adat guna menyelesaikan kedua pasangan itu.Segala ketentuan adat dilaksankan sampai ditemukan titik kemufakatan, kewajiban, pihak bujang pula membayar uang penggalang sila ke pihak adat si gadis.
Cara Tekahang (Sakicik Betik)
Cara ini dilakukan terang-terangan. Keluarga bujang melamar langsung si gadis setelah mendapat laporan dari pihak bujang bahwa dia dan si gadis saling setuju untuk mendirikan rumah tangga pertemuan lamaran antara pihak bujang dan si gadis apabila telah mendapat kecocokan menentukan tanggal pernikahan tempat pernikahan uang jujur, uang pengeni jama hulun tuha bandi balak (Mas Kawin), bagaimana caranya penjemputan, kapan di jemput dan lain-lain. Yang berhungan dengan kelancaran upacara pernikahan.Biasanya saat menjemput pihak keluarga lelaki menjemput dan si gadis mengantar.Setelah samapi ditempat sibujang, pengantin putri dinaikan kerumah kepala adat/ jukhagan, baru di bawa pulang ketempat si bujang.Sesudah itu dilangsungkan acara keramaian yang sudah dirancanakan. Dalam sistem kawin tekhang ini uang pengepik, surat pemberian dan ngebekhitahu tidak ada, yang penting diingat dalam sistem dalam nyakak atau mentudau kewajiban pihak pengantin pria adalah :
a. Mengeluarkan uang jujur (bandi Lunik) yang diberitahukan kepada pihak pengantin wanita.
b. Pengantin membayar kontan mas kawin mahar (Bandi Balak). Kepada si gadis yang sesuai dengan kemufakatan si gadis dengan sibujang.keluarga pihak pria membayar uang penggalang sila”Kepada kelompok adat si gadis
c. Mengeluarkan Jajulang / Katil yang berisi kue-kue (24 macam kue adat) kepada keluarga si gadis jajulang/katil ini duhulu ada 3 buah yaitu : Katil penetuh Bukha Katil Gukhu Ngaji Katil Kuakha Sekarang keadaan ekonomi yang susah katil cukup satu.
d. Ajang yaitu nasi dangan lauk pauknya sebagai kawan katil.
Memberi gelar / Adok kepada kedua pengantin sesuai dengan strata pengantin pria, sedangkan dari pihak gadis memberi barang berupa pakaian, alat tidur, alat dapur, alat kosmetik, dan lain sebagainya. Barang ini disebut sesan atau benatok, Benatok ini dapat diserahkan pada saat manjau pedom sedangkan pada sistem sebambangan dibawa pada saat menjemput, pada sistem tekhang kadang-kadang dibawa belakangan.

2. Sistem Perkawinan Cambokh Sumbay.
Sistem perkawinan Cambokh Sumbay disebut juga Perkawianan semanda, yang sebenarnya adalah bentuk perkawinan yang calon suami tidak mengeluarkan jujur (Bandi lunik) kepada pihak isteri, sang pria setelah melaksanakan akad nikah melepaskan hak dan tanggung jawabnya terhadap keluarganya sendiri dia bertanggung jawab dan berkewajiban mengurus dan melaksankan tugas-tugas di pihak isteri. Hal ini sesuai dengan apa yang di kemukakan Prof. Hi. Hilman Hadi kusuma, :Perkawinan semanda adalah bentuk perkawinan tanpa membayar jujur dari pihak pria kepad pihak wanita, setelah perkawinan harus menetap dipihak kerabat istri atau bertanggung jawab meneruskan keturunan wanita di pihak isteri”
Di masyarakat Lampung saibatin kawin semanda (Cambokh Sumbay) ini ada beberapa macam sesuai dengan perjanjian sewaktu akad nikah antara calon suami dan calon isteri atau pihak keluarga pengantin wanita.
Dalam perkawinan semanda/ Cambokh sumbay yang perlu diingat adalah pihak isteri harus mengeluarkan pemberian kepada pihak keluarga pria berupa :
a. Memberikan Katil atau Jajulang kepada pihak pengantin pria
b. Ajang dengan lauk-pauknya sebagai kawan katil.
c. Memberikan seperangkat pakaian untuk pengantin pria.
d. Memberi gelar/adok sesuai dengan strata pengantin wanita.
Sedangkan Bandi lunik atau jujur tidak ada sedangkan Bandi Balak atau maskawin dapat tidak kontan (Hutang). Pelunasannya etelah sang suami mampu membayarnya. Termasuk uang penggalang Silapun tidak ada,Selain dari kedua sistem perkawinan diatas ada satu sistem perkawinan yang banyak dilakukan oleh banyak orang pada era sekarang. Akan tetapi bukan yang diakui oleh adat justru menentang atau berlawanan dengan adat system ini adalah “Sistem Kawin Lari atau kawin Mid Naib” Sistem perkawinan ini maksudnya adalah lari menghindari adat, Lari dimaksud disini tidak sama denga Sebambangan, Karena sebambangan lari di bawa ke badan hukum adat atau penyimbang, sedangkan kawin lari ini adalah si gadis melarikan bujang ke badan huku agama islam yaitu Naib (KUA) untuk meminta di nikahkan, masalh adat tidak disinggung-singgung, penyelesaian kawin seperti ini tidak ada yang bertanggung jawab secara adat, sebab kadang-kadang keluarga tidak mengetahui hal ini, penyelesaian secara adat biasanya setelah akad nikah berlangsung apabila kedua belah pihak ada kecocokan masalah adatnya, antara siapa yang berhak anatara keduanya perempuan Nyakak/mentudau atau sang pria Cambokh Sumbay /Semanda.Kawin lari seperti ini sering dilakukan karena antara kedua belah pihak tidak ada kecocokan dikarnakan beberapa hal diantaranya :
a. Sang Bujang belum mampu untuk berkeluarga sedangkan si Gadis mendesak harus di nikahkan secepatnya karena ada hal yang memberatkan Si gadis.
b. Kawin lari semacam ini dilakukan karena keterbatasan Biaya, apabila perkawinan ini dilakukan secara adat atau dapat pula di simpulkan untuk menghemat biaya.
Macam-macam sistem perkawinan Cambokh Sumbay/Semanda :
a. Cambokh Sumabay Mati manuk Mati Tungu, Lepas Tegi Lepas Asakh. Cambokh Sumbay seperti ini merupaka cambokh sumbay yang murni karene Sang Pria datang hanya membawa pakaian saja, segala biaya pernikahan titanggung oleh si Gadis, anak keturunan dan harta perolehan bersama milik isteri sang pria hanya membantu saja, apabila terjadi perceraian maka semua anak, harta perolehan bersama milik sang isteri, suami tidak dapat apa.
b. Cambokh Sumbay Ikhing Beli, cara semacam ini dilakukan karena Sang Bujang tidak mampu membayar jujur (Bandi Lunik) yang diminta sang Gadis, pada hal Sang Bujang telah Melarika Sang Gadis secara nyakak mentudau, selam Sang Bujang belum mampu membayar jujur (Bandi Lunik) dinyatakan belum bebas dari Cambokh Sumabay yang dilakukannya. Apabila Sang Bujang sudah membayar Jujur (Bandi Lunik) barulah dilakukan acara adat dipihak Sang Bujang
c. Cambokh Sumbay Ngebabang, Bentuk ini dikakukan karena sebenarnya keluarga sigadis tidak akan mengambil bujang. Atau tidak akan memasukkan orang lain kedalam keluarga adat mereka, akan tetapi karena terpaksa sementara masih ada keberatan –kebneratan untuk melepas Si Gadis Nyakak atau mentudau ketempat orang lain, maka di adakan perundingan cambokh sumbay Ngebabang, cambokh Sumaby ini bersyarat, umpanya batas waktu cambokh sumbay berakhir setelah yang menjadi keberatan pihak si gadis berakhir, Contoh : Seorang Gadis Anak tertua, ibunya sudah tiada bapaknya kawin lagi, sedangkan adik laki yang akan mewarisi tahta masih kecil, maka gadis tersebut mengambil bujang dengan cara Cambokh Sumabay Ngebabang, berakhirnya masa cambokh sumbay ini setelah adaik laki-laki tadi berkeluarga.
d. Cambokh Sumbay Tunggang Putawok atau Sai Iwa khua Penyesuk, Cara semacam ini dikarenakan antara pihak keluarga Sang Bujang dan Sang Wanita merasa keberatan untuk melepaskan anak mereka masing-masing. Sedangkan perkawinan ini tidak dapat di hindarkan, maka dilakukan permusyawaratan denga system Cambokh sumbay Say Iwa khua penyesuk cambokh sumabi ini berarti “ Sang pria bertanggung jawab pada keluarga isteri dengan tidak melepaskan tanggung jawab pada keluarganya sendiri, demikian pula halnya dengan Sang Gadis, Kadang kala sang wanita menetap di tempat sang suami
e. Cambokh Sumbay Khaja-Kaja, ini merupakan bentuk yang paling unik diantara cambokh sumabay lainnya karena menurut adat Lampung Saibatin, Raja tidak boleh Cambokh Sumbay, ini terjadi Cambokh Sumbay karena Seorang anak Tua yang harus mewarisi tahta keluarganya Cambokh Sumbay kepada Seorang Gadis yang juga kuat kedudukan dalam adatnya, dan Sang Gadis tidak akan di izinkan untuk pergi ketempat orang lain.
E. Larangan Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat
Yang dimaksud dengan larangan perkawinan dalam hukum adat adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaiman dikehendaki oleh hukum adat atau larangan agama yang telah masuk menjadi ketentuan hukum adat. Adapun larangan tersebut adalah sebagai berikut:10
a. Hubungan kekerabatan
Larangan perkawinan karena ikatan hubungan kekerabatan dapat terlihat dalam hukum adat Batak yang bersifat asymmetrisch connubium, dilarang terjadinya perkawinan antara laki-laki dengan perempuan yang satu marga. Pada masyarakat Minangkabau disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan dilarang kawin apabila mereka satu suku. Pelanggaran terhadap larangan ini akan dijatuhkan hukuman denda adat yang harus dibayarkan kepada para prowatin adat dan harus menyembelih ternak agar terhindar dari kutukan arwah-arwah ghaib.
b. Perbedaan Kedudukan
Dilarangnya perkawinan karena alasan perbedaan kedudukan terjadi pada masyarakat yang masih bertradisi feodalisme. Misalnya seorang laki-laki dilarang melakukan perkawinan dengan perempuan dari golongan rendah atau sebaliknya. Di Minangkabau seorang perempuan dari golongan penghulu dilarang kawin dengan laki-laki yang tergolong kemanakan di bawah lutut. Di Bali, karena pengaruh ajaran agama Hindu, seorang laki-laki dari keturunan triwana atau triwangsa (Brahmana, Ksatria dan Weisha) dilarang menikah dengan seorang perempuan dari golongan sudra ( orang-orang biasa).
c. Perbedaan Agama
Perbedaan agama dapat menjadi penghalang terjadinya perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, seperti di daerah Lampung yang setiap warga adat harus menganut agama Islam, bagi yang tidak beragama Islam tidak dapat diterima menjadi anggota warga adat. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan yang beragama lain yang hendak melangsungkan pernikahan salah satu dari keduanya harus terlebih dahulu memasuki agama Islam.


F. Akibat Putusnya Perkawinan
Menurut UU No. 1 tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan (pasal 38). Akibat putus perkawinan karena perceraian, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya. Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (pasal 37). Hukumnya masing-masing yang dimaksud adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya (penjelasan pasal 37).
Pada masyarakat yang bersifat patrilinial, yang mengharamkan terjadinya perceraian, maka putusnya perkawinan karena kematian atau perceraian tidak mengubah pertanggunganjawab kerabat pihak suami terhadap anak dan istri dari anggota keluarga/rumah tangga seketurunan ayah, kakek dan seterusnya ke atas.
Pada masyarakat yang bersifat matrilinial, demikian pula sebaliknya, putusnya perkawinan karena kematian atau perceraian tidak mengubah tanggungjawab ‘’mamak’’ terhadap kemenakan (di Minangkabau) atau Payung Jurai terhadap kemenakannya (di Semendo) atau para Kelama (di Lampung pesisir).
Pada masyarakat yang bersifat parental, begitu pula kerabat patrilinial atau matrilinial yang telah jauh merantau dari kampung halamnnya, pertanggungjawaban pengurusan dan pemeliharaan anak kemenakan, janda, yang dalam kekurangan hidupnya adalah pihak suami atau pihak istri, tergantung pada keadaan dan kemampuan serta kesediaan dari kerabat yang bersangkutan.
Perceraian dapat terjadi karena:
a. Istri berzina
b. Istri mandul
c. Suami impoten
d. Suami meninggalkan istri dalam waktu yang lama
e. Istri berkelakuan tidak sopan
f. Istri dan suami tidak menghormati adat-istiadat
Tata Cara Perceraian Adat
Perceraian dapat timbul karena ada hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian antara suami dan istri .Setiap perselisihan suami istri harus dicarikan jalan penyelesaian oleh kerabat agar mereka dapat hidup rukun dan damai.. Menurut hukum adat kampung dukuh, kalau ada sepasang suami-isteri yang akan bercemai karena tidak sejalan dan tidak menjadikan rumah tangga harmonis maka cara penyelesaiannya dilakukan di depan kepala adat, sehingga perceraian yang terjadi berjalan dengan sesuai adat dikampung tersebut. Kecuali apabila kerabat sudah tidak dapat lagi menyelesaikan perselisihan secara damai, barulah diteruskan ke pengadilan resmi.
Tata Cara Perceraian Menurut Hukum Perdata
Menurut Pasal 14 UU Perkawinanseorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat tersebut dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian tersebut.
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan (Pasal 19 disebutkan dibawah) dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
Disamping itu pasal 19menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok; pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasal 20 (1), (2), (3) UU Perkawinan).
Jika gugatan perceraian karena alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar kemampuannya maka diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Gugatan tersebut dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 21).
Dalam hal gugatan karena alasan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga maka gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat. Gugatan dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu (Pasal 22).
Menurut Pasal 23 UU Perkawinan gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat, maka untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti penggugatan cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutus perkara disertai keterangan yang mengatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut tidak tinggal dalam satu rumah. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Mengenai gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.Gugatan diajukan dengan alasan yang sama maka tidak akan diterima oleh Pengadilan.Jika gugatan akan diajukan kembali maka harus dengan alasan-alasan yang berbeda dengan alasan yang sebelumnya.
G. Perkawinan Anak-anak
Perkawinan anak-anak atau perkawinan di bawah umur masih menjadi perdebatan terutama berkaitan dengan batasan usia minimal bagi seorang anak untuk menikah. Dalam hal ini penulis mengambil contoh perkawinan anak-anak yang terjadi di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Pada masyarakat Indramayu masih terjadi perkawinan di bawah umur hal ini disebabkan dengan alasan faktor adat atau kebiasaan yang turun temurun dilakukan masyarakat setempat. Di samping itu faktor pengetahuan dan pemahaman yang kurang terhadap resiko pernikahan di bawah umur. Faktor ekonomi juga menjadi alasan bagi orang tua yang menyebabkan anak-anaknya menikah di bawah umur. Hal ini berbeda dengan masyarakat bugis yang hidup di Jambi, masyarakat adat bugis melakukan perjodohan antara keluarga si A dengan keluarga si B, tapi kebanyakan masyrakat Bugis di Jambi perjodohannya dilakukan pada saat putra-putri mereka menginjak sekolah SMA. Pernikahan di bawah umur atau anak-anak juga dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan, baik permasalahan sosial dan juga hukum. Padahal di Indonesia ini juga sudah ada undang-undang yang mengatur mengenai usia pernikahan di Indonesia yang tercantum dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 ayat 1 yang berbunyi:”perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita berusia 16 tahun.” Pemberlakuan undang-undang ini diberlakukan atas dasar perlindungan atas hak anak, kesehatan yang berkaitan dengan organ reproduksi dan psikologis anak dalam hal kedewasaan anak untuk menentukan pilihan yang tepat dan untuk menanggung resiko banyaknya kerugian atau kewenang-wenangan yang akan dialami oleh si istri.
Memang perkawinan anak-anak pada zaman dahulu di Jawa pun banyak terjadi sehingga orang-orang jaman dahulu memiliki banyak anak, ada yang memiliki anak 7 ada yang 10 bahkan ada yang di atas 10 anak. Akan tetapi pada masa sekarang ini sudah jarang terjadinya perkawinan anak-anak di bawah umur mengingat jumlah populasi penduduk yang ada di Indonesia ini yang semakin banyak.

















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik sesuai dengan pembahasan di atas adalah bahwasannya di Indonesia ini banyak corak-corak hukum adat yang mewarnai cara perkawinan menurut hukum adat sendiri. Hukum adat merupakan bagian dari Indonesia, jadi semua tingkah laku, perbuatan, cara upacara, perkawinan pun juga banyak mewarnai masyarakat Indonesia.
Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi umat manusia. Dengan adanya perkawinan, maka menjadi halal lah suatu hubungan antar seorang laki-laki dan seorang perempuan. Di samping itu kehidupan bagi seorang manusia akan terasa lengkap, begitu pula dengan masyarakat adat jika menikah maka kemungkinan besar akan memiliki suatu keturunan. Sehingga dengan adanya keturunan maka tradisi adat dapat diturunkan ke anak-anak dan cucu-cucu masyarakat adat itu sendiri.
Akan tetapi dalam hubungan perkawinan tidak selalu berjalan mulus dan pastinya terdapat juga masalah-masalah dalam kehidupan berumah tangga. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya suatu perceraian yang merupakan hal yang dilaknat oleh Allah meskipun Allah membolehkan terjadinya suatu perceraian.
Perkawinan anak-anak juga mewarnai masyarakat adat di Indonesia.hal ini bertentangan dengan UU No. 1 tahun 1974 yang menjelaskan mengenai batasan umur seorang laki-laki dan wanita yang hendak melakukan pernikahan. Hal ini bertujuan agar keluarga yang dibina bisa Sakinah, Mawaddah, Wa rrahmah.
B. Kritik dan Saran
Dalam penyusunannya Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis selalu mengharapkan kritik dan saran yang besifat membangun dari pembaca umumnya, dan mahasiswa yang mengampu mata kuliah ini pada khusunya. supaya kelak dapat lebih baik dalam penyusunannya.
DAFTAR PUSTAKA

C. Buku
Azhar, Ahmad Basyir. Hukum Perkawinan Islam. 2004. Yogyakarta: UII Press
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. 1992. Bandung: Mandar Maju
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam.1954. Jakarta: Attahiriyah
Soekanto. Soerjono. Hukum Adat Indonesia. 2011. Jakarta Utara: PT Raja Grafindo
Wulansari, Dewi. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. 2010. Bandung: PT Refika Aditama

D. Website

Diakses dari www.google.com Modul-Hukum-Adat-7-Sistem-Perkawinan pada tanggal 15 November 2011
Diakses dari www.google.comSISTEM PERKAWINAN « Persaudaraan Masyarakat Lampung.htm pada tanggal 15 November 2011

0 komentar:

Posting Komentar